Tanggung Jawab & Hak Karyawan
Kami memahami bahwa hak-hak karyawan adalah bagian dari martabat manusia yang harus dijaga. Karena itu, meski menghadapi kondisi keuangan yang tidak selalu mudah — bahkan dalam situasi defisit — YAKKUM tetap berkomitmen memenuhi kewajiban normatif sesuai peraturan ketenagakerjaan yang berlaku.
Boleh jadi, salah satu pokok persoalan yang muncul dalam Perundingan PKB adalah berkaitan dengan konsepsi kesejahteraan.1 Lumrah bila ketegangan dalam hal kesejahteraan itu menyeruak, sebab perihal kesejahteraan selalu lekat dengan hak-hak. Hal itu jelas sensitif, dan bisa dikata reaksioner di hampir seluruh permasalahan industrial. Meski demikian, baik bila kita cermati apa saja yang perlu dipahami manakala perjuangan akan hak itu digalakkan.
Hal Pertama yang bisa didalami adalah perihal hak-hak normatif baik berciri ekonomis maupun nonekonomis sebagaimana telah diatur Undang-undang. Paling tidak, dapat dipahami bahwa peraturan tersebut adalah koridor yang diberikan negara untuk menjamin hak-hak dasar pekerja yang tidak boleh dilanggar. Apa saja itu?
- Hak ekonomis adalah hak pekerja yang berkaitan langsung dengan imbalan finansial, jaminan kesejahteraan, dan perlindungan sosial-ekonomi atas pekerjaan yang dilakukan.2 Hak-hak itu terdiri dari Hak atas Upah yang Layak3, Hak atas Tunjangan dan Fasilitas Kesejahteraan4, Hak atas Jaminan Sosial Tenaga Kerja5, Hak atas Pesangon dan Penghargaan Masa Kerja6, Hak atas Cuti yang Tetap Dibayar7, Hak atas Upah Proses (Selama Sengketa atau PHK Belum Berkekuatan Hukum Tetap)8, dan Hak atas Program Pensiun9
- Hak nonekonomisadalah hak yang tidak langsung berkaitan dengan uang atau penghasilan, tetapi penting untuk menjamin martabat, keselamatan, dan kemanusiaan pekerja dalam hubungan kerja. seperti; Hak atas Keselamatan dan Kesehatan Kerja10(K3), Hak atas Perlakuan yang Adil dan Martabat11, Hak atas Waktu Istirahat dan Keseimbangan Hidup12, Hak atas Pengembangan Diri dan Pelatihan13, Hak atas Perlindungan dari Kekerasan dan Pelecehan di Tempat Kerja14, Hak atas Partisipasi dalam Serikat Pekerja15, Hak atas Penyelesaian Perselisihan Secara Adil16 dan Hak atas Perlindungan Data Pribadi dan Privasi.17
Maka mari cermati, untuk memastikan bahwa hak-hak yang diberikan perusahaan tidak melanggar ketentuan undang-undang sebagai hak dasar pekerja. Sebab, dalam kondisi-kondisi eksternal yang tidak selalu stabil, ketentuan undang-undang adalah standar yang bisa menjadi dasar supaya hak-hak dasar tidak diabaikan.18
Kemudian hal yang kedua adalah mindset atau konstruksi berpikir mengenai kesejahteraan yang jamak, bila dicermati pada gagasan dan kehendak setiap orang. Hal ini kerap muncul sebagai aspirasi yang wajar, sebab tiap individu berkepentingan menjalani dan menata kehidupan yang diinginkannya. Secara organisatoris, hal itu dimungkinkan dan dikelola melalui Serikat Pekerja sebagai wadahnya. Dan sebagai lembaga mandiri berbadan hukum, kejelasan mengenai status dan pengelolaan administrasi anggota menjadi hal yang penting.
Sebagaimana UU pun mengatur mekanisme tersebut, bahwa perlindungan atas hak dan keberadaan pekerja dalam organisasi Serikat Pekerja sudah dijamin. Sebagai catatan, keanggotaan karyawan dalam organisasi adalah bukan kewajiban, ia bersifat sukarela atau tanpa paksaan apalagi intimidasi. Meski sampai hari ini ada anggapan bahwa menjadi karyawan berarti secara otomatis menjadi anggota Serikat Pekerja, perlu dicermati secara kritis bahwa status keanggotaan memiliki akibat hukum yang menjadi kewajiban dan haknya dalam organisasi.
Maka hendaknya, setiap karyawan juga memahami dahulu hal-hal tersebut sebelum berkomitmen menjadi bagian dari anggota suatu organisasi. Karena sebagai suatu badan hukum mandiri, organisasi Serikat pekerja secara kedudukan berbeda dengan organisasi naungan pemberi kerja. Oleh sebab itu, status kekaryawanan berbeda dengan status keanggotaan organisasi serikat pekerja.
Kemudian yang ketiga yang perlu pahami adalah bahwa dalam masa sulit ini, YAKKUM memandang seluruh karyawan bukan sekadar pekerja, melainkan mitra pelayanan. Setiap karyawan memegang peran penting sebagai penopang keberlanjutan misi kemanusiaan Yayasan. Oleh karena itu, selain berhak atas perlindungan dan penghargaan, karyawan juga memiliki tanggung jawab moral dan profesional untuk:
- Menjalankan tugas dengan integritas, efisiensi, dan dedikasi;
- Menjaga nilai-nilai YAKKUM dalam pelayanan;
- Membangun solidaritas, penghematan, dan inovasi di unit masing-masing;
- Menopang rekan kerja dan lembaga dengan semangat kebersamaan.
Maka, keseimbangan antara hak dan tanggung jawab inilah yang membuat YAKKUM tetap berdiri — bukan semata karena kemampuan finansial, tetapi karena kekuatan iman dan persatuan hati mereka yang melayani.
Dengan demikian, di balik proses perundingan Perjanjian kerja Bersama (PKB) di YAKKUM, salah satu landasan utama yang mestinya menjiwai diskusi adalah visi dan tujuan lembaga sebagaimana disebutkan dalam AD/ ART Yayasan. Sebab seluruh aktivitas pelayanan dan usaha dari unit-unit YAKKUM secara hukum terikat dengan tujuan utama dari Yayasan sebagai induk lembaga yang menaunginya.
_______________________
1Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Pasal 1 ayat (1), yang mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri.
Adi, Isbandi Rukminto. (2005). Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Pengantar pada Pengertian dan Beberapa Pokok Bahasannya. Jakarta: FISIP UI Press, hlm. 37–38, yang menjelaskan bahwa kesejahteraan adalah upaya terencana untuk meningkatkan kualitas hidup individu dan kelompok dalam masyarakat.
Bandingkan juga dengan Suharto, Edi. (2009). Kebijakan Sosial: Sebagai Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta, hlm. 45, yang menegaskan bahwa kesejahteraan tidak hanya berarti pemenuhan ekonomi, tetapi juga keterjaminan sosial, keadilan, dan rasa aman dalam kehidupan bermasyarakat.
2Definisi hak ekonomis pekerja berdasarkan interpretasi dari Pasal 88 dan Pasal 99 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, serta Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016
3lihat Pasal 88 ayat (1) dan (2) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279, dan PP No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 45.
4Pasal 88C ayat (1) UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (perubahan dari UU 13/2003), Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 42. dan Pasal 12 PP No. 36 Tahun 2021.
5Pasal 99 UU No. 13 Tahun 2003 dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116 (Pekerja berhak atas jaminan sosial yang mencakup Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), dan Jaminan Kesehatan)
6Pasal 156 UU No. 13 Tahun 2003 jo. PP No. 35 Tahun 2021, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 46.
7Pasal 79 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003. (Cuti tahunan, cuti sakit, cuti melahirkan, cuti haid, cuti karena alasan penting, di mana pekerja tetap menerima upah penuh.)
8Pasal 93 UU No. 13 Tahun 2003 dan Putusan MK No. 37/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Pasal 96 UU No. 13 Tahun 2003 terhadap UUD 1945.
9Pasal 167 UU No. 13 Tahun 2003.
10Pasal 86 ayat (1) huruf a UU No. 13 Tahun 2003 dan PP No. 50 Tahun 2012 tentang Sistem Manajemen K3.
11Pasal 5 dan 6 UU No. 13 Tahun 2003.
12Pasal 79 ayat (2) huruf a–d UU No. 13 Tahun 2003.
13Pasal 11–13 UU No. 13 Tahun 2003.
14Permenaker No. 88 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja.
15UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh;(Hak untuk membentuk, bergabung, dan berpartisipasi dalam kegiatan serikat pekerja, serta melakukan perundingan kolektif.
16UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
17UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.
18Dasar hukum mengenai efisiensi diatur dalam:
Pasal 164 ayat (1) dan (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja karena perusahaan tutup atau mengalami kerugian secara terus-menerus selama dua tahun, atau karena efisiensi untuk mencegah kerugian lebih besar.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011, yang menegaskan bahwa “efisiensi” dapat menjadi alasan sah untuk melakukan PHK, asalkan disertai bukti kondisi keuangan yang benar-benar memburuk dan tetap menghormati hak-hak pekerja (seperti pesangon, penghargaan masa kerja, dan penggantian hak).
Pasal 86 ayat (1) huruf a UU No. 13 Tahun 2003, yang menegaskan pentingnya perlindungan terhadap keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan pekerja meskipun dalam kondisi darurat ekonomi.
Untuk pertanyaan dan bantuan, silakan hubungi:
Hotline HI YAKKUM di 0812-5253-0198
(Setiap hari kerja pukul 08.00–16.00 WIB)