Catatan Terkait Serikat Pekerja

Dalam perundingan Perjanjian Kerja Bersama, Serikat Pekerja memiliki peran yang penting. Sebab esensi keberadaanya dijamin oleh Undang-undang, seperti UU No. 13 tahun 2003, pada pasal 1 ayat 17 disebutkan bahwa serikat pekerja merupakan organisasi yang didirikan oleh pekerja dan untuk pekerja. Baik itu di dalam maupun di luar perusahaan, memiliki sifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab demi kesejahteraan pekerja.

Secara praktis, setiap aktivitas Serikat Pekerja sudah diatur sedemikian rupa oleh Undang-undang (Seperti UU. No 21 tahun 2000). Yang dengannya, diharapkan dapat dilakukan upaya-upaya advokasi dan pembinaan terhadap pekerja untuk menjaga hak-haknya, misal terkait upah, jam kerja, hingga lingkungan kerja. Sehingga layaknya suatu check and balances, umumnya Serikat Pekerja memiliki peran untuk berelasi dengan pengelola perusahaan untuk merawat suatu kondisi kerja yang kondusif.

Maka harus dipahami di sini bahwa, Serikat Pekerja adalah suatu badan yang mandiri, dan bahkan secara hukum memiliki peran untuk dapat mewakili karyawan dalam pembuatan Perjanjian Kerja Bersama atau juga dalam penyelesaian perselisihan industrial.1 Maka prinsip-prinsip yang mendasari keberadaanya mestilah dijaga demi keterbukaan, kemandirian dan tanggung jawab sebagaimana disebut di atas.

Namun masalahnya, perihal keterwakilan dan representasi selalu akan menjadi tantangan di sini. Dalam isu-isu penting terkait dengan aspirasi kesejahteraan, kejernihan dan kejelasan posisi dan kedudukan Serikat Pekerja haruslah jelas. Sebabnya, ia akan menjadi wakil dari karyawan sebagai pihak yang diberi kewenangan untuk melakukan dialog dan perundingan dengan pihak yang merepresentasikan manajemen. Karena tak jarang, konflik terjadi dalam dinamika dan perbedaan kepentingan itu. Karena bagaimanapun juga, pihak manajemen adalah kepanjangan tangan dari perusahaan yang memiliki tujuan strategis untuk menjaga pengelolaan visi, misi atau tujuan dari lembaga.

Dalam konteks YAKKUM, kejelasan dan kejernihan kedudukan ini menjadi isu yang penting hari ini. Terutama ketika lembaga dan unit-unit usaha di bawah yayasan sedang melakukan pembenahan dan penyesuaian cara kerja. Artinya akan ada beban di balik setiap kepentingan, sehingga dalam hal ini kejelasan dari posisi para pihak sangatlah penting. Maka memastikan bahwa keterwakilan aspirasi juga hendaknya menjadi perhatian di sini, karena posisi itu akan diperhadapkan dengan kepentingan pemberi kerja selaku pengelola usaha. Apakah hal itu berarti seluruh karyawan dengan begitu saja (otomatis) terwakili dalam perundingan?

Rupa-rupanya diperlukan perhatian di sini. Undang-undang (Pasal 119 UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) mengatur bahwa keterwakilan dalam perundingan oleh satu organisasi Serikat Pekerja mensyaratkan lebih dari 50% anggota dari seluruh jumlah pekerja dalam perusahaan. Maka hal ini perlu dipastikan supaya syarat-syarat administrasi yang dapat diverifikasi, dapat menjamin keterwakilan para pekerja melalui Serikat Pekerja terkait.

Proses pendaftaran atau perekrutan anggota Serikat Pekerja di dalam sebuah Yayasan dilakukan berdasarkan prinsip sukarela, bebas, dan tanpa tekanan dari pihak manapun. Setiap pekerja memiliki hak penuh untuk membentuk atau menjadi anggota serikat pekerja sepanjang memenuhi ketentuan keanggotaan yang diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) Serikat Pekerja yang bersangkutan. Setiap pekerja juga berhak untuk tidak menjadi anggota dari Serikat Pekerja manapun.

Perekrutan anggota dilakukan secara terbuka dan demokratis di lingkungan kerja, dengan syarat utama bahwa calon anggota adalah pekerja atau karyawan tetap maupun kontrak di lembaga tersebut. Setelah proses pendaftaran anggota dilakukan, Serikat Pekerja wajib mencatatkan organisasinya ke Dinas Tenaga Kerja setempat untuk memperoleh bukti pencatatan resmi sebagai badan hukum organisasi pekerja.2

Khusus di lingkungan Yayasan, ketentuan ini tetap berlaku karena pekerja di Yayasan—baik tenaga medis, sosial, maupun pendidikan—memiliki hubungan kerja yang diatur oleh hukum ketenagakerjaan, bukan oleh hukum keperdataan semata. Oleh karena itu, hak berserikat tetap dijamin dan dilindungi oleh undang-undang.3

Keanggotaan dalam serikat pekerja merupakan perwujudan hak dasar setiap pekerja untuk berserikat dan berorganisasi sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Hak ini bersifat sukarela, bukan kewajiban. Artinya, setiap pekerja memiliki kebebasan penuh untuk menentukan pilihannya—apakah akan bergabung atau tidak menjadi anggota serikat pekerja—tanpa adanya tekanan, paksaan, atau diskriminasi dari pihak manapun.4

Kebebasan ini menjadi salah satu prinsip penting dalam hubungan industrial yang demokratis, karena menjamin keseimbangan antara kepentingan pekerja dan pengusaha. Serikat pekerja yang terbentuk atas dasar kehendak bebas para anggotanya akan memiliki legitimasi moral dan hukum yang kuat dalam memperjuangkan hak-hak normatif, meningkatkan kesejahteraan, serta menciptakan hubungan kerja yang adil dan harmonis.

Dalam konteks kelembagaan Yayasan, keberadaan serikat pekerja berfungsi sebagai mitra dialog sosial yang dapat mewakili suara para pekerja dalam perundingan, penyusunan Perjanjian Kerja Bersama (PKB), maupun dalam proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Namun demikian, keanggotaan serikat pekerja tidak bersifat otomatis bagi setiap karyawan baru. Mereka perlu melalui proses pendaftaran dan pernyataan kesediaan sebagai bentuk partisipasi aktif dan kesadaran akan nilai kebersamaan yang diperjuangkan oleh serikat.

Dengan demikian, keanggotaan serikat pekerja bukan hanya status administratif, melainkan bentuk komitmen moral dan sosial seorang pekerja untuk turut serta menjaga keseimbangan hak dan kewajiban antara pekerja dan pengelola lembaga, dalam kerangka hubungan industrial yang sehat dan berkeadilan.

 

Tentang Bipartit di Lingkungan Yayasan

Di tengah dinamika tantangan yang dihadapi Yayasan, baik dari sisi keuangan, regulasi, maupun perubahan dunia kerja, salah satu kunci menjaga keharmonisan hubungan kerja adalah dialog yang terbuka dan bermakna antara pekerja dan Pengurus Yayasan. Semangat inilah yang menjadi roh dari Lembaga Kerja Sama Bipartit.5

Bipartit bukan sekadar forum formal antara manajemen dan karyawan. Ia adalah wadah komunikasi dua arah yang dibangun atas dasar kepercayaan, keterbukaan, dan rasa saling menghargai. Melalui bipartit, setiap aspirasi karyawan dapat disampaikan secara konstruktif, dan setiap keputusan manajemen dapat dijelaskan dengan transparan.

Secara prinsip, Forum Bipartit dibentuk sebagai sarana komunikasi dan konsultasi antara pengusaha atau pengelola Yayasan dengan pekerja, untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di lingkungan kerja.6 Melalui forum ini, diharapkan tercipta pemahaman bersama, penyelesaian masalah secara internal, serta terciptanya hubungan kerja yang harmonis dan berkeadilan.

Namun demikian, forum bipartit memiliki batasan yang tegas. Ruang lingkup pembahasannya hanya mencakup isu-isu yang berkaitan langsung dengan hubungan kerja dan kesejahteraan pekerja, seperti pelaksanaan hak normatif, lingkungan kerja, produktivitas, penerapan Peraturan Yayasan atau PKB, serta upaya peningkatan hubungan industrial.7

Forum bipartit tidak berwenang untuk mengintervensi kebijakan manajerial yang bersifat strategis dan menjadi tanggung jawab organ pengelola Yayasan. Keputusan terkait arah keuangan, struktur organisasi, rekrutmen manajerial, maupun kebijakan investasi tetap menjadi domain manajemen.8 Forum bipartit hanya dapat memberikan rekomendasi atau pertimbangan apabila kebijakan tersebut berdampak langsung terhadap hak dan kewajiban karyawan, seperti perubahan sistem pengupahan, efisiensi kerja, atau restrukturisasi yang menyentuh status hubungan kerja.9

Dengan demikian, fungsi utama bipartit bukanlah pengambil keputusan, melainkan forum dialog sosial — wadah musyawarah yang menjembatani kepentingan pekerja dan pengelola Yayasan, agar setiap kebijakan dapat diterapkan dengan mempertimbangkan nilai keadilan, transparansi, dan keberlanjutan lembaga.10

Forum ini memungkinkan kita menyelesaikan perbedaan dengan cara yang berkeadaban, mencari solusi bersama tanpa harus melalui konflik yang merugikan kedua belah pihak. Bipartit juga menjadi jembatan penting sebelum suatu permasalahan berkembang menjadi perselisihan hubungan industrial yang lebih kompleks.

Yayasan yang sehat bukan hanya diukur dari laporan keuangannya, tetapi juga dari hubungan kerja yang harmonis dan manusiawi. Melalui forum bipartit, manajemen dan karyawan diajak untuk duduk bersama, menimbang dengan bijak setiap persoalan, dan membangun kesepahaman demi keberlanjutan Yayasan serta kesejahteraan bersama.

Mari kita hidupkan kembali semangat bipartit sebagai ruang dialog dan solusi bersama, karena dari komunikasi yang baik, tumbuh rasa saling percaya; dan dari kepercayaan itulah tumbuh kekuatan untuk menghadapi masa depan Yayasan yang lebih kokoh dan berkeadilan.

_____________________________

 1Lihat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, yang menegaskan:

Pasal 5 ayat (1): Serikat pekerja/serikat buruh bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab.

2Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh,

Pasal 4 ayat (1): Serikat pekerja/serikat buruh berfungsi sebagai sarana untuk memperjuangkan, membela, dan melindungi hak serta kepentingan pekerja/buruh.

Pasal 5 ayat (1): Serikat pekerja/serikat buruh bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab.
Pasal 18 ayat (1) dan (2): Serikat pekerja wajib memberitahukan secara tertulis kepada instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan untuk memperoleh bukti pencatatan.

3Asikin, Zainal. (2008). Dasar-Dasar Hukum Perburuhan Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm. 181–183, yang menjelaskan bahwa hak untuk berserikat melekat pada setiap pekerja tanpa memandang status hubungan kerja atau jenis lembaganya, termasuk lembaga nirlaba seperti yayasan.

Sutedi, Adrian. (2009). Hukum Perburuhan. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 220, yang menegaskan bahwa pencatatan serikat pekerja di Dinas Tenaga Kerja merupakan bentuk pengakuan administratif agar organisasi tersebut sah secara hukum untuk melakukan perundingan kerja bersama.

4Konvensi ILO Nomor 87 Tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi, yang telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 1998, menegaskan bahwa setiap pekerja memiliki kebebasan penuh untuk bergabung atau tidak bergabung dengan organisasi pekerja.

Charina Lucky Pratiwi & Aries Harianto, Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh Berdasarkan Asas Kebebasan Berserikat, Indonesian Journal of Law and Society, Universitas Jember, Vol. 2 No. 1 (2021), hlm. 49–50, yang menegaskan bahwa keanggotaan serikat pekerja adalah hak individual yang tidak dapat dipaksakan.

5Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 106 ayat (1):
 “Dalam perusahaan yang mempekerjakan sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh, pengusaha wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit.”

Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pembentukan dan Susunan Keanggotaan Lembaga Kerja Sama Bipartit di Perusahaan.

International Labour Organization (ILO), Guidelines on Workplace Cooperation (1993), yang menegaskan bahwa kerja sama di tempat kerja melalui forum bipartit berperan penting dalam mendorong produktivitas, kesejahteraan, dan iklim kerja yang harmonis.

6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 106 ayat (1).

7Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pembentukan dan Susunan Keanggotaan Lembaga Kerja Sama Bipartit, Pasal 3 ayat (1).

8Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia, Buku Pedoman Lembaga Kerja Sama Bipartit, Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial, 2016, hlm. 10–12.

 9International Labour Organization (ILO), Guidelines on Workplace Cooperation, Geneva, 1993.

10Ibid., hlm. 5–7; lihat juga Pedoman Hubungan Industrial Pancasila, Kementerian Ketenagakerjaan RI, 2018, hlm. 21–23.

 

Untuk pertanyaan dan bantuan, silakan hubungi:

Hotline HI YAKKUM di 0812-5253-0198

(Setiap hari kerja pukul 08.00–16.00 WIB)