Orientasi Misi YAKKUM
Pada mulanya adalah Misi.
Apa yang dilakukan YAKKUM hingga hari ini tidak bisa dilepaskan dari esensi misi gerejawi yang menaunginya. Ketika berdiri pada 1 Februari 1950, pertama-tama dengan nama Jejasan Roemah-roemah Sakit Kristen Djawa Tengah (JRSK), esensi dasar seluruh aktivitas dan pekerjaan yang dilakukannya adalah untuk meneruskan misi. Benih misi sudah ditabur sejak akhir abad ke 19, dengan mandat dari Gereja-gereja Reformasi Belanda (Gereformeerde Kerken in Nederland) memandatkan pendirian rumah-rumah sakit. Apakah lantas apa makna keberadaan YAKKUM sebagai penanggung jawab pengelolaan di hari ini?
Hal itu harus dijawab dengan melihat serangkaian persitiwa di seputar kemerdekaan Indonesia. Pada Mei 1947, pertemuan penting di Kwitang antara delegasi Gereja-gereja Reformasi dari Belanda (Gereformeerd dan Hervomd) dengan gereja-gereja di Jawa bersepakat untuk meneruskan karya misi itu. Dalam dokumen yang disebut “Kesimpulan dalam Perundingan antara Delegasi Gereja-gereja di Indonesia dan Delegasi Gereja-gereja Luar Negeri mengenai bentuk Bekerja Bersama di Lapangan pekabaran Injil di Indonesia”, menyatakan tanggung jawab misi yang harus terus berlanjut, terutama di bidang-bidang yang sudah dimulai zending (Sekolah-sekolah, Rumah-rumah sakit dan Literasi). Dalam salah satu klausulnya, gereja-gereja di Jawa untuk membentuk bebadan yang mengurusi unit-unit pelayanan kesehatan yang diserahkan (Bab IV).
Dari situlah, Pdt. Basuki Probowinoto yang kala itu mengajak dr. Kasmolo Paulus, bertolak ke persidangan gereja-gereja Gereformeerd di Eindhoven pada 1948 untuk menindaklanjuti kesepakatan tersebut dalam suatu kerangka kerja. Salah satu hasilnya dituangkan dalam “Dasar dan Peraturan Pekabaran Injil (Zendingsorde)” yang disahkan dalam Sidang Sinode GKJ pada 6 Juli 1949. Barulah pada 9 Januari 1950, pada pertemuan antara utusan Sinode GKJ, utusan GKI Sinode Wilayah Jawa Tengah dan utusan dari Gereja-gereja Gereformeerd, disepakati bentuk dari pengelolaan unit-unit pelayanan kesehatan dalam suatu Yayasan (kala itu disebut Wakaf) berdasarkan hukum yang berlaku saat itu. Dan setelahnya dapat disahkan secara hukum berdirinya sebuah Yayasan (JRSK) pada 1 Februari 1950 yang nantinya bekerja untuk mengelola rumah-rumah sakit zending.

Hingga pada 1 Juli 1950, secara resmi kepengurusan dan aset dari unit-unit rumah sakit zending diserah terimakan dari pengelola sebelumnya, ke Yayasan yang dibentuk ini. Dalam salah satu klausul yang dinyatakan dalam dokumen tersebut berbunyi:
“Mulai hari ini (Sabtu, 1 Juli 1950) maka semua apa jang diserahkan kepada pihak kedua (Jejasan Rumah-rumah Sakit Kristen) itu telah ada didalam pegangan dan kekuasaan (bezit) dari pihak kedua, maka dari itu mulai hari djuga semua keuntungan atau kerugian akan diterima atau dipikul oleh pihak kedua.”
Sejak saat itulah organisasi dan pengelolaan Yayasan memiliki peran yang krusial, untuk meneruskan mandat supaya pelayanan terus berjalan dan tidak menyimpang. Dalam perjalanannya tentu tidak mudah. Berbagai usaha dilakukan untuk secara profesional melakukan pekerjaan yang relevan terutama dalam konteks yang terus berkembang dan bergerak.
Semangat itu yang dijaga di dalam YAKKUM, di mana dinamika kelembagaan yang ada menjadi warna yang membentuk jiwa pelayanannya. Maka, ketundukan Organ Yayasan kepada mandat Sinode adalah bagian yang menentukan makna esensi pengutusannya. Terutama sejak perubahan Undang-undang Yayasan dengan berlakukan UU No. 16 tahun 2001 dan UU No. 28 tahun 2004, pengelolaan Yayasan yang tersentral pada peran Organ sudah menjadi ketentuan yang diatur undang-undang.1 Dan implikasinya, setiap kebijakan, strategi sampai pada aras tata kelola sumber daya, yang dijiwai oleh pertanggungjawaban terhadap misi gerejawi harus ditempuh YAKKUM dengan ketaatan.
Menyikapi situasi yang menjadi tantangan bagi YAKKUM, dalam beberapa Persidangan Sinode pun muncul suatu pandangan yang kemudian menjadi jangkar kebijakan Organ Yayasan. Seperti pada Persidangan Sinode GKJ dan GKI SW Jateng pada 24 April 2024, secara eksplisit dinyatakan beberapa pokok penugasan kepada YAKKUM seperti; “Mendukung upaya transformasi YAKKUM, di antaranya dengan mewujudkan pembaruan kesepakatan dalam Perjanjian Kerja Bersama, Sentralisasi dana, daya dan data.” (Art. 11, ay. 2).
Gereja melihat bahwa transformasi adalah kemestian, berikut juga perangkat-perangkat pelaksanaan juga harus dikelola sedemikian rupa. Maka dengan landasan AD/ART yang menjadi koridor konstitusi Yayasan, berbagai penyesuaian dan perubahan dilakukan dengan cermat. Selain mempertahankan esensi misinya tetap relevan, perubahan juga harus memperhatikan perundang-undangan yang berlaku untuk menjaga hakikat Yayasan.
Sebagai Yayasan, YAKKUM memiliki kedudukan sebagai pemberi kerja yang dalam hal ini tengah berhadapan dengan situasi yang tidak mudah. Di satu sisi ada tuntutan zaman, perubahan regulasi dan persaingan eksternal yang mendesak pengelolaan yang adaptif dan relevan berdasar visi Yayasan.

Namun di sisi lain ada pergumulan gejolak pada sektor industri dan ekonomi makro yang menempatkan lembaga di persimpangan krisis global. Sebagaimana umum diketahui, bahwa hingga hari ini tidak sedikit perusahaan yang terguncang hingga harus menempuh perampingan dengan PHK untuk menjaga eksistensinya. Dari data dari Kemenaker, pernyataan adanya peningkatan 32% dari tahun lalu, hingga pada Juni 2025 sudah mencapai 42.385 orang ter-PHK sebagai imbas dari masalah pasar dan industri.2
Hingga hari ini, di tengah penurunan kinerja keuangan seluruh rumah sakit akibat dari kebijakan BPJS, beruntung bahwa YAKKUM mampu menjalankan strategi sentralisasi manajemen dan mengelola sistem keuangannya untuk menjaga kerugian tidak menjadi terlalu dalam. Melalui intervensi kebijakan efisiensi operasional dengan menertibkan potensi-potensi agency conflict dan perbaikan bisnis proses yang telah dilakukan mulai menunjukkan hal baik. Di antaranya adalah kinerja organisasi yang lebih sehat, adanya peluang untuk membangun dan meningkatkan fasilitas di sektor-sektor layanan yang lemah tanpa selalu mengandalkan pinjaman Bank. Di samping hal itu, peningkatan kapasitas layanan sekurang-kurangnya dapat mempertahankan supaya YAKKUM tidak menempuh cara PHK secara masal dalam waktu dekat.

Maka, dari berbagai kajian dan pendapat yang menjadi masukan, dorongan untuk melakukan perundingan PKB harus dimaknai sebagai usaha untuk memperbaiki cara kerja. Dari perspektif YAKKUM, yang dalam status hukumnya adalah pihak pemberi kerja, orientasi pada keberlanjutan misi adalah hal yang mutlak.
_____________________________
1Rachmadi Usman. (2013). Hukum Yayasan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 57–59, yang menjelaskan bahwa sistem organ Yayasan dirancang agar pengelolaan Yayasan tidak bergantung pada individu tertentu, melainkan pada fungsi kelembagaan yang diatur undang-undang.
2Kemnaker: PHK 2025 Naik Jadi 42 Ribu Orang, Jawa Tengah Tertinggi. detikFinance, “Kemnaker: PHK 2025 Naik Jadi 42 Ribu Orang…”, 22 Juli 2025. detikfinance (https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-8024040/kemnaker-phk-2025-naik-jadi-42-ribu-orang-jawa-tengah-tertinggi)
Untuk pertanyaan dan bantuan, silakan hubungi:
Hotline HI YAKKUM di 0812-5253-0198
(Setiap hari kerja pukul 08.00–16.00 WIB)